Rabu, 23 Januari 2008

Mitokondria

Keterlibatan Mitokondria pada Penyakit Hati


Jumat, 21 November, 2003 oleh: gklinis
Keterlibatan Mitokondria pada Penyakit Hati
Gizi.net - SUARA PEMBARUAN DAILY - Kehidupan dan kematian merupakan dua hal yang selalu terjadi pada setiap sel. Pada kedua hal itu, mitokondria terlibat aktif dan memiliki fungsi yang penting. Untuk kehidupan sel, mitokondria berperan menghasilkan energi yang digunakan untuk melakukan berbagai fungsi sel.

Kerusakan mitokondria dapat menyebabkan kegagalan sintesis adenosin triphospate (ATP), kerusakan membran mitokondria yang pada akhirnya akan diikuti kematian sel. Di samping itu, mitokondria juga memiliki peran penting dalam suatu sistem untuk mengatur kematian sel yang disebut apoptosis, yakni program sel untuk menghilangkan sel-sel yang tidak berguna, misalnya karena sel tua atau rusak.

Semua jaringan dan sel yang hidup dengan berbagai derajat yang berbeda menurut fungsi masing-masing memerlukan energi dalam bentuk ATP yang dihasilkan mitokondria melalui proses fosforilasi oksidatif. Disfungsi mitokondria dapat terjadi pada semua sistem organ, maka manifestasi klinik kelainan mitokondria dapat bervariasi menurut organ yang terlibat. Gangguan ini bisa berupa gangguan fungsi sampai kerusakan sistem organ. Hal itu disampaikan oleh dr David Handojo Muljono dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta dalam suatu seminar tentang Mitokondria.

Menurut dia, satu organ yang mempunyai reaksi fosforilasi oksidatif yang aktif adalah hati. Keterlibatan mitokondria pada penyakit hati telah diketahui sejak setengah abad yang lalu, yakni sejak diketahui kerusakan hati akibat alkohol.

Dengan berkembangnya imunologi, diketahui bahwa kerusakan hati pada primary biliary cirrhosis (PBC) terjadi karena kerusakan mitokondria akibat antibodi terhadap protein mitokondria. Selanjutnya terungkap bahwa penyakit hati yang disebabkan oleh penimbunan lemak, terjadi melalui kerusakan mitokondria sel hati.

Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) merupakan penyakit hati akibat penimbunan dan infiltrasi lemak pada sel hati. Kelainan metabolis itu sering dituding sebagai penyebab timbulnya NAFLD, pada keadaan genetik yang normal dan abnormal.

Kelainan mitokondria ini terjadi sebagai akibat peningkatan sintesis asam lemak yang diikuti mekanisme kompensasi sel berupa fat disposal melalui esterifikasi lemak menjadi trigliserida dan oksidasi di tiga organel sel yakni mitokondria, peroksisom dan mikrosom. Kelainan pada mitokondria itu juga terjadi karena pembentukan bahan-bahan yang bersifat toksik terhadap berbagai protein respirasi, fosfolipid dan DNA mitokondria.

Bahan-bahan bersifat toksik ini akan menyebabkan kenaikan sistem peroksida lemak, yang selanjutnya akan memicu timbulnya reaksi radang, induksi sitokin, aktivasi fibrosis dan sebagian langsung menyebabkan kematian sel.

Selain akibat penimbunan lemak, kelainan mitokondria pada penyakit hati juga diakibatkan pengaruh obat. Obat merupakan bahan kimia yang bekerja dengan berbagai cara yakni langsung pada reseptor, memodulasi enzim atau berikatan dengan protein sel untuk menimbulkan efek baru. Di lain pihak, hati merupakan organ yang bertugas menetrasisasi bahan-bahan toksik yang memasuki tubuh.

Untuk keperluan ini, sel hati dilengkapi berbagai sistem biokimia guna melakukan metabolisme bahan-bahan yang masuk ke dalam sel hati. Dalam melaksanakan metabolisme itu, pada umumnya tidak dilakukan oleh organ tunggal melainkan satu organ bekerjasama dengan organ lain secara sinergis.

Kegagalan suatu sistem akan menyebabkan akumulasi bahan tertentu yang akan merupakan bahan toksis untuk enzim pada organel tertentu atau pada organel berikutnya.

Mitokondria sel hati pada penyakit hati karena pengaruh obat dapat berperan ganda yakni sebagai penyebab kegagalan dan sebagai organel yang menerima akibat pengaruh obat. (N-5)

http://www.suarapembaruan.com

Plasmodesmata

ntroduction

Plasmodesmata are narrow channels that act as intercellular cytoplasmic bridges to facilitate communication and transport of materials between plant cells. The plasmodesmata serve to connect the symplastic space in the plant and are extremely specialized channels that allow for intercellular movement of water, various nutrients, and other molecules (including signalling molecules) (Epel, 1994). Plasmodesmata are located in narrow areas of cell walls called primary pit fields, and they are so dense in these areas (up to one million per square millimeter) that they make up one percent of the entire area of the cell wall (Salisbury and Ross, 1992):

--figure from Micrograph of the Month at Brown University, Dr. Kenneth R. Miller

Ever since the electron microscope was introduced into the battery of scientific tools available to researchers, plasmodesmal studies have become an exciting field in plant physiology. When previously it was thought that these pores were merely passive tunnels for small solute transport between cells, there are now fervent debates about the structure, composition, and active transport dynamics of these intercellular channels.


Composition and Structure

Since the function of plasmodesmata are so closely associated with their rather complex structure, it is necessary to delinate the make-up of plasmodesmata before we discuss their functions in plants. It has been demonstrated that the plasma membrane is continuous between cells, the outer leaflet contiguous with the cell wall and the inner leaflet contiguous with the plasmodesmal pore (general structure reviewed by Epel, 1994; Overall and Blackman, 1996; and Oparka, 1993). Within the plasmodesmal pore, a tightly wound cylinder of membrane termed the desmotubule runs the length of the plasmodesma. Thus, the desmotubule is essentially a tube within a larger tube bordered by the plasma membrane. The structure of the desmotubule and how it relates to the overall structure of plasmodesmata was studied by Tilney, et al. (1991) by using plasmolysis, Triton X detergent extraction, and protease digestion. This investigation utilized fern (Onoclea sensibilis) gametophytes by cutting them in half, exposing the cut surfaces to Triton X 100, and then fixing the gametophytes. This detergent solubilized the plasma membrane component of the plasmodesmata of the gametophytes, but the desmotubule was not affected by the detergent. However, when the cut gametophyte surfaces were exposed to papain, the desmotubule is destroyed but the plasma membrane remained intact (yet swollen). Finally, the gametophytes were plasmolyzed, and it was found that plasmodesmata remained intact as long as the desmotubule stayed in its normal, fixed position as the cells detached from the cell walls. Thus, Tilney, et al. (1991) suggested that the desmotubule provides a rigid stability to plasmodesmata and confers a fixed diameter and pore size to the plasmodesmal canal, much like a cytoskeletal structure. However, one should be cautious in mistaking the desmotubule as a completely rigid strcuture, since the desmotubule is linked to the endoplasmic reticulum in each of the adjacent cells, forming a dynamic endomembrane continuum in the symplastic space, a topic to be discussed in more detail later (Grabski, et al., 1993).

The space between the plasmalemma and the desmotubule is the cytoplasmic sleeve or cytoplasmic annulus, and transport through plasmodesmata has been proposed to occur either through the lipid portions of the desmotubule or this cytoplasmic sleeve (or both):

--figure from Oparka, 1993

In some plasmodesmata, there is a region at each end of the plasmodesmal channel that is constricted and termed the neck region, where the plasma membrane component of the plasmodesmata closely associates with the central desmotubule. The neck region is proposed to contain several, spoke-like protein subunits that are located both extracellularly and between the desmotubule and the plasmalemma (linking these two structures), and these proteins can then act as a sphincter to regulate the passage of materials through the plasmodesmata, much like gap junctions in animal cells (reviewed by Robards and Lucas, 1990):

--figure from Robards and Lucas, 1990

Recently, studies by White, et al. (1994) have suggested that there is an actin-myosin network associated with plasmodesmata, since these proteins were found to be associated with plasmodesmata using immunogold cytochemistry. Overall and Blackman (1996) suggest that the actin and myosin wrap around the central desmotubule and help to stabilize the desmotubule and consequently the entire plasmodesma. They support their claim by providing evidence that treatment of plant tissue with cytochalasin (which interferes with actin structures) have cells with plasmodesmata that are swollen, much like the plasmodesmata in the gametophyte tissue exposed to papain in the investigation by Tilney, et al. (1991). The possible roles of actin and myosin in plamodesmal function are discussed below. Here is the most recent diagramatic model of plasmodesmal structure, proposed by Overall and Blackman (1996):

Electron microscopy has been an essential tool for discerning plasmodesmata structure, but one should be aware that the dynamics of plasmodesmal transport should not and cannot be absolutely inferred from these static images. But, these images are still the major source of information on the substructure of plasmodesmata; here are some examples of electron micrographs of plasmodesmata (figures from Overall and Blackman, 1996; Tilney, et al., 1991; and Hepler, 1982, respectively):

Computer-generated models of plasmodesmata structure have also been useful for describing the three-dimensional characteristics of the plasmodesmal canal. Below are computer-generated images of various models described in the literature (images from Chris Betts at Monash Univ.):

THE DING MODEL

THE OVERALL MODEL

THE RADFORD MODEL

THE WHITE MODEL

A dynamic endomembrane continuum

During cytokinesis of plant cells, the endoplasmic reticulum has been associated with the dictyosomal vesicles of the forming phragmoplast of the dividing cell (reviewed by Hepler, 1982). Sometimes, portions of the endoplasmic reticulum are trapped within these vesicles as they fuse, these tubular ER elements manage to traverse the cell plate, and plasmodesmata are formed. A study by Hepler (1982) substantiated the model that the desmotubule was a tightly furled stretch of endoplasmic reticulum that confers a membranous continuum between adjacent cells. Previous methods for endoplasmic reticulum staining had proved difficult: potassium permanganate (KMnO4) staining managed to stain the ER heavily but did not provide enough structural detail (because it degraded various cellular structures), and glutaraldehyde-OsO4 fixation was gentle enough to not disrupt cytoplasmic details but did not stain heavily enough for proper contrast of ER membrane (Hepler, 1982). However, this study by Hepler (1982) used a novel staining technique that utilized a mixture of osmium tetroxide and potassium ferricyanide to selectively and strongly stain for ER without destroying any cellular structures. Through this staining technique, Hepler (1982) was able to demonstrate that the endoplasmic reticulum did, in fact, run throughout the plasmodesmata of contiguous lettuce (Lactuca sativa) tissue cells, and the cisternal space of the endoplasmic reticulum was occluded by the tightly-constricted neck regions of the plasmodesmata (see electron micrograph # , above), providing support for the notion that the desmotubule was a strong, tightly-wound rod running down the length of plasmodesmata.

A more recent study by Grabski, et al. (1993) provided a detailed model of lipid diffusion and transport between contiguous soybean root cells via the endoplamsmic reticulum. This investigation utilized the experimental technique of fluorescence redistribution after photobleaching cells to determine the mobility of various fluorescently-labeled lipids and phospholipids, many of which are important signalling molecules in plant cells. Some of the lipid molecules used in this study predominantly resided in the plasma membrane while the others primarily were mobile through the endoplasmic reticulum only (determined by confocal microscopy). When these various lipids were introduced to the soybean cells, only those molecules associated with the endoplasmic reticulum were transported from cell to cell via plasmodesmata, whereas the lipids in the plasma membrane did not cross intercellularly. A particularly noteworthy observation was that, when 1-acyl-2-(N-4-nitrobenzo-2-oxa-1,3-diazole)aminoacylphosphatidylcholine was introduced as one of the reporter molecules in the plasma membrane, it was quickly converted to 1-acyl-2-(N-4-nitrobenzo-2-oxa-1,3-diazole)aminoacyldiglyceride (NBD-DAG), which is then translocated to the endoplasmic reticulum. The newly-formed NBD-DAG, an analog of the second messenger DAG of the phosphatidylinositol signaling pathway (reviewed by Grabski, et al., 1993) could then be transported between cells, which has great functional importance for intercellular communication and transport of signalling molecules. Overall, this study by Grabski, et al. (1993) offered two important ideas about a dynamic membrane continuum between plant cells:

Signaling and Transport Mechanisms of Plasmodesmata

Classical studies on transport through plasmodesmata have utilized microinjection of small, fluorescently-labeled probes to examine the passive transport mechanisms of plasmodesmata. These probes were first used to describe the size-exclusion limits, or the maximum size of a molecule that can pass through plasmodesmata passively, of plasmodesmata in various plant species. Looking at the cytoplasmic sleeve region and the spokes that constrict the neck region plasmodesmata, it was determined that the average width of channels allowing molecules to passively travel through a plasmodesmal annulus is approximately 3 nm, and thus the average size exclusion limit is molecules weighing approximately 800-1000 Da (reviewed by Oparka, 1993; Epel, 1994; Robards and Lucas, 1990; and Overall and Blackman, 1996).

Variations on passive transport

However, it has recently been shown that size exclusion limits vary between species and even cell types during passive transport. In tobacco mesophyll cells, the size exclusion limit of fluorescently-labeled dextrans is only 1 kDa, whereas in trichome cells, the size-exclusion limit is as large as 7 kDa (reviewed by Overall and Blackman, 1996 and Epel, 1994). Another study by Wang and Fisher (1994) employed normally apoplastic probes such as Lucifer Yellow and incubated sections of crease tissue from developing wheat grains in solutions of these probes. The dye moved into the symplastic space through plasmodesmata, and it was determined that in all cells except the pericarp, the diameter of the plasmodesmata in this tissue was 6.2 nm (twice the normal exclusion limit).

Why do the parameters of passive diffusion through plasmodesmata vary so much among investigations? One explanation is that the microinjection technique used to exogenously add small probe molecules may be triggering a wound response in the plant cell and a consequent partial closure of plasmodesmata, perhaps by callose plugging up the transport pathways (Overall and Blackman, 1996). The varying size exclusion limits may also be due to the specific spoke molecules allowing passive transport through the neck region of plasmodesmata; different species of plants may have different neck region compositions, accounting for the discrepancies in size exclusion limits for passive transport (Epel, 1994).

Active transport of macromolecules

Other macromolecules destined for intercellular transport are shuttled through plasmodesmata via active transport mechanisms. Some studies have shown that plasmodesmata can alter their dimensions such that they expand/dilate outward into an electron-lucent sleeve surrounding the normal-sized plasmodesmata (reviewed by Overall and Blackman, 1996). This expansion would allow for the transport of larger molecules through the cytoplasmic sleeve. The mechanism or trigger of this plasmodesmal dilation is virtually unknown, but it has been recently postulated that proteins in the neck region may be implicated in this phenomenon (Overall and Blackman, 1996).

Another major recent finding concerning active transport through plasmodesmata involves a possible association of cytoskeletal elements with both trafficking/targeting molecules to the plasmodesmata and assisting in the energetics of active transport. It has been demonstrated that the endoplasmic reticulum is closely associated with microtubules, and viral movement proteins (discussed below) have been shown to track through the plant cell along these microtubules (reviewed by Overall and Blackman, 1996). Actin and tubulin have both been shown to bind to viral movement protein, which transports itself through the plant via plasmodesmata (reviewed by Zambryski, 1995). Thus, cytoskeletal elements are helping to guide various macromolecules to plasmodesmata, and also actin has been thought to help loosen the sphincter elements of the neck region to allow for the transport of these larger molecules (reviewed by Overall and Blackman, 1996). In addition, myosin may also act as a cytoskeletal motor to provide the energetics for active plasmodesmal transport. Myosin has been found in several species of plants and is an ATP-dependent protein that generates directional movement (as in flagellar motion) (Overall and Blackman, 1996). High ATPase activity has been demonstrated in plasmodesmata, so myosin is a prime candidate for aiding active transport and may be the spokes, sometimes seen in electron micrographs, connecting the desmotubule to the cytoplasmic annulus throughout the plasmodesmata(Overall and Blackman, 1996).

Viruses and Plasmodesmata

A special subset of active plasmodesmal transport involves the intercellular movement of plant viruses through plasmodesmata. Most, if not all, plant viruses utilize plasmodesmata to travel around and infect an entire plant (Epel, 1994), and there is strong evidence to suggest that the viruses manipulate the plasmodesmata to allow large viral particles (several times larger than the normal size exclusion limt) to pass between cells. The major mechanism of this type of viral transport has been deduced through studies of the tobacco mosaic virus, which encodes for a movement protein (MP) that mediates the transport of a non-virion form of the virus between cells (Epel, 1994). The mechanism is thought to be as follows (adapted from Xiong, 1996):
  1. The movement protein is expressed by the virus
  2. The MP binds to viral RNA
  3. This binding facilitates the unfolding of the RNA into a linear rod
  4. The RNA and bound MP targets and then travels to the plasmodesmata
  5. The MP interacts with the plasmodesmata to increase the size exclusion limit
  6. The viral RNA can move through the plasmodesmata to the adjacent cell
Three functional domains have been located in the viral movement protein: one for RNA binding, one for cooperative RNA binding, and one for plasmodesmal interaction (Xiong, 1996). The exact mechanism for any of the above steps is not yet known, but it has been demonstrated that the viral movement protein is acting on plasmodesmata directly to increase their size exclusion limits, since fluorescently-labeled large dextrans (between 9-35 kDa) have been found to move between cells in transgenic plants expressing the movement protein, and no endogenous metabolism of the dextrans was detected (Xiong, 1996). Viral movement protein studies will continue to allow researchers to more clearly define the mechanisms of plasmodesmal targeting and transport.

Other Functions of Plasmodesmata

Plasmodesmata have also been shown to play a role in numerous other plant cell processes (reviewed by Oparka, 1993): In conclusion, plasmodesmata play a crucial role in transporting materials and signalling molecules intercellularly in higher plants. In the last decade, it has been discovered that plasmodesmal function is much more complex that previously imagined, and more molecular and in vivo studies are necessary to discern the absolute structure and function of these interesting cytoplasmic channels.

Senin, 07 Januari 2008

Teori Pembelajaran Konstruktivism dalam Rekabentuk dan Pembinaan Perisian Pengajaran dan Pembelajaran Berbantukan Komputer ( PPBK)

1. PENGENALAN


Pengajaran dan Pembelajaran Berbantukan Komputer (PPBK) merupakan salah satu cara untuk mengintegrasikan teknologi dalam pendidikan yang berpotensi untuk mengoptimakan keberkesanan proses pengajaran dan pembelajaran. Teori pembelajaran pula menjelaskan bagaimana seseorang belajar. Pendekatan teori-teori pengajaran dan pembelajaran memainkan peranan penting dalam menentukan keberkesanan sesuatu pengajaran dan pembelajaran dalam bidang pendidikan. Gagne (1985) mendefinisikan tujuan teori dalam pembinaan perisian adalah untuk mewujudkan satu perhubungan yang seimbang antara tatacara arahan dengan kesan ke atas proses pembelajaran dan jangkaan pembelajaran yang dapat dihasilkan melalui proses-proses tersebut. Aplikasi teknologi multimedia yang berpandukan teori-teori pembelajaran yang relevan dalam pembinaan perisian pengajaran dan pembelajaran berbantukan komputer (PPBK) memainkan peranan yang penting dalam membekalkan beberapa program pengajaran yang sesuai dalam usaha untuk merealisasikan potensi pelajar dengan sepenuhnya. Di sini perancangan yang sistematik dan teratur dalam rekabentuk dan pembinaan perisian PPBK yang berlandaskan pendekatan teori-teori pembelajaran perlu dilaksanakan terlebih dahulu agar perisian yang dihasilkan menyumbang kepada keberkesanan pembelajaran dan berkualiti.


Soal perancangan kini menjadi semakin kritikal memandangkan matlamat pendidikan negara ini amat mementingkan pembinaan potensi insan dalam semua aspek iaitu rohani, kognitif, afektif dan fizikal dalam bentuk yang menyeluruh dan bersepadu Berdasarkan Perspektif Bersepadu Sejagat, matlamat asas pendidikan di sekolah adalah untuk memanusiakan manusia dan memperadabkan manusia ( Nik Aziz Nik Pa, 1997).

Pembinaan konsep pengajaran dan pembelajaran yang mantap serta seiring dengan matlamat negara akan menjadi landasan kepada rekabentuk perisian PPBK. Pendekatan teori pengajaran dan pembelajaran, strategi dan pengkaedahan yang diamalkan dalam rekabentuk perisian PPBK hendaklah bersesuaian dengan kepelbagaian gaya pembelajaran pelajar, di samping itu juga mengambilkira kecerdasan kepelbagaian dan kemahiran berfikir secara kreatif dan kritis serta penerapan nilai-nilai murni.


Terdapat pelbagai jenis teori pembelajaran dalam bidang pedagogi yang boleh diaplikasikan dalam rekabentuk dan pembinaan perisian PPBK. Teori-teori pembelajaran mempengaruhi pembentukkan model-model rekabentuk pengajaran yang digunakan sebagai panduan dalam pembinaan perisian PPBK. Aplikasi teori ini perlulah relevan dengan keperluan dan kesesuaian penggunaannya. Teori pembelajaran konstruktivism merupakan salah satu daripada teori tersebut yang akan menjadi tumpuan perbincangan dalam kertas kerja ini berkaitan dengan rekabentuk dan pembinaan perisian PPBK.


2. TEORI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISM


2.1 Apakah Konstruktivism?


Konstruktivism bukan merupakan satu teori yang baru dalam bidang pendidikan. Pengaruh konstruktivism dalam era teknologi maklumat dan komunikasi ini semakin kuat. Teori ini bertitik tolak daripada pandangan behaviorism yang mengkaji perubahan tingkahlaku sehingga kepada kognitivism yang mengkaji tentang cara manusia belajar dan memperoleh pengetahuan yang menekankan perwakilan mental.


Bruner (1960), telah menekankan bahawa pembelajaran merupakan satu proses di mana pelajar membina idea baru atau konsep berasaskan kepada pengetahuan semasa mereka. Pelajar memilih dan mengintepretasikan maklumat, membina hipotesis dan membuat keputusan yang melibatkan pemikiran mental (struktur kognitif seperti skema dan model mental) memberikan makna dan pembentukan pengalaman dan membolehkan individu “melangkau melebihi maklumat yang diberikan” (Beyond the information given). Hasil daripada pendekatan ini, beliau telah memperkenalkan pembelajaran penemuan (Discovery Learning).



Briner (1999) berpendapat murid membina pengetahuan mereka dengan menguji idea dan pendekatan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sedia ada, mengaplikasikannya kepada situasi baru dan mengintegrasikan pengetahuan baru yang diperoleh dengan binaan intelektual yang sedia wujud.


Brooks & Brooks (1993) menyatakan bahawa murid membina makna tentang dunia dengan mensintesis pengalaman baru kepada apa yang mereka telah fahami sebelum ini. Mereka membentuk peraturan melalui refleksi tentang interaksi mereka dengan objek dan idea. Apabila mereka bertemu dengan objek, idea atau perkaitan yang tidak bermakna kepada mereka, maka mereka akan sama ada mengintepretasikan apa yang mereka lihat supaya secocok dengan peraturan yang mereka telah bentuk atau mereka akan menyesuaikan peraturan mereka agar dapat menerangkan maklumat baru ini dengan lebih baik. Menurut Mc Brien dan Brandt (1997), konstruktivism adalah satu pendekatan pengajaran berdasarkan kepada penyelidikan tentang bagaimana manusia belajar. Kebanyakan penyelidik berpendapat setiap individu membina pengetahuan dan bukannya hanya menerima pengetahuan daripada orang lain.


Pengetahuan dibina secara aktif oleh individu yang berfikir berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sedia ada. Dalam proses ini, pelajar akan menyesuaikan pengetahuan yang diterima dengan pengetahuan sedia ada untuk membina pengetahuan baru dalam mindanya (PPK, 2001:9). Secara ringkasnya, teori pembelajaran konstruktrivism adalah satu fahaman bahawa pengetahuan, idea atau konsep yang baru dibina secara aktif berdasarkan kepada pengalaman lepas dan pengetahuan sedia ada dengan maklumat, idea atau konsep yang diterima sama ada bantuan kendiri, interaksi sosial atau persekitaran diselaraskan melalui proses metakognitif . Rajah 1 menunjukkan gambaran pengertian konstruktivism secara ringkasnya.

Rajah 2 menunjukkan sebuah peta minda tentang pengertian konstruktivism secara kesluruhannya iaitu dari segi implikasinya ke atas pengajaran dan pembelajaran , prinsip-prinsip dan peranan guru dan pelajar .

Penilaian Formatif

Penilaian formatif bertujuan memperoleh maklumat tentang tahap penguasaan dan kelemahan murid terhadap hasil pembelajaran yang ditetapkan. Maklumat ini boleh dimanfaatkan untuk mengenal pasti tahap kebolehan murid, mengesan hasil pembelajaran yang sudah dan belum dikuasai oleh murid. Maklumat ini boleh digunakan untuk membuat keputusan sama ada murid terus ke unit pembelajaran yang baru, diberikan pengayaan, mengulangi unit pembelajaran, atau diberikan pemulihan. Maklumat ini juga dapat digunakan untuk menaksir keberkesanan kaedah serta aktiviti pembelajaran, dan merancang aktiviti pemulihan dan pengayaan.

ASEMEN DALAM PEMBELAJARAN SAINS SD

Pendahuluan

Indikator utama yang digunakan untuk menilai kualitas pembelajaran dan kelulusan siswa dari suatu lembaga pendidikan, sering didasarkan pada hasil belajar siswa yang tertera pada nilai tes hasil belajar (THB) atau Nilai EBTANAS Murni (NEM). Dampak dari pandangan tersebut yang diperkuat dengan bentuk tes yang digunakan, mendorong guru berlomba-lomba mentrasfer materi pelajaran sebanyak-banyak-nya untuk mempersiapkan anak didik dalam mengikuti THB atau Ebtanas. Akibatnya seperti yang dikemukakan oleh A. Malik Fajar dalam harian Kompas (Mei 1994:4) bahwa yang terjadi kemudian adalah anak didik dipaksa untuk melahap informasi yang disampaikan tanpa diberi peluang sedikit pun untuk melaksanakan refleksi secara kritis. Dalam hal ini anak didik hanya dituntut untuk belajar dengan cara menghapal semua informasi yang telah disampaikan oleh guru.

Dari hasil pengamatan di lapangan (terutama terhadap pembelajaran Sains di Sekolah Dasar), proses penilaian yang dilakukan selama ini semata-mata hanya menekankan pada penguasaan konsep yang dijaring dengan tes tu;is obyektif dan subyektif sebagai alat ukurnya. Hal ini didukung oleh penelitian Nuryani, dkk (1992:8) yang mengemukakan bahwa pengujian yang dilakukan selama ini baru mengukur pengusaan materi saja dan itu pun hanya meliputi ranah kognitif tingkat rendah. Keadaan semacam ini merupakan salah satu penyebab guru enggan melakukan kegiatan pembela-jaran yang memfokuskan pada pengembangan keterampilan proses anak. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan umumnya hanya terpusat pada pen-yampaian materi dalam buku teks. Keadaan faktual ini mendorong siswa untuk menghapal pada setiap kali akan diadakan tes harian atau tes hasil belajar. Padahal untuk anak jenjang sekolah dasar yang harus diutamakan adalah bagaimana mengembangkan rasa ingin tahu dan daya kritis anak terhadap suatu masalah (Mahar Marjono, 1996:10).

Proses pembelajaran Sains di SD menuntut keterlibatan peserta didik secara aktif dan bertujuan agar penguasaan dari kognitif , afektif, serta psi-komotorik terbentuk pada diri siswa (Moh. Amin, 1987:42), maka alat ukur hasil belajarnya tidak cukup jika hanya dengan tes obyektif atau subyektif saja. Dengan cara penilaian tersebut keterampilan siswa dalam melakukan aktivitas baik saat melakukan percobaan maupun menciptakan hasil karya belum dapat diungkap. Demikian pula tentang aktivitas siswa selama mengerjakan tugas dari guru. Baik berupa tugas untuk melakukan perco-baan, peragaan maupun pengamatan.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa bentuk atau sistem penilaian yang digunakan dalam mengukur hasil belajar siswa sangat berpengaruh terhadap strategi pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan guru. Sis-tem penilaian yang benar adalah yang selaras dengan tujuan dan proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran Sains SD pada kurikulum 2004, dapat dirangkum ke dalam tiga aspek sasaran pembelajaran yaitu penguasaan konsep Sains, pengembangan keterampilan proses/kinerja siswa, dan pena-naman sikap ilmiah. Oleh karennya agar informasi tentang hasil belajar siswa dapat mengungkap secara menyeluruh, maka perlu melakukan pe-ngukuran terhadap ketiga aspek tersebut di atas. Dengan demikian sasaran dari penilaian hasil belajar di SD meliputi semua komponen yang men-yangkut proses dan hasil belajar siswa dalam kegiatan belajar mengajar.

Tiga target pembelajaran dalam pendidikan Sains SD menuntut kon-sekuensi terhadap alat ukur yang digunakan. Penggunaan tes obyektif dan subyektif semata-mata sangatlah tidak tepat. Kedua bentuk tes ini hanya mampu menggambarkan seberapa banyak informasi yang berhasil dikum-pulkan siswa dan mempunyai kecenderungan membuat siswa lebih pasif dari pada kreatif, karena peserta didik hanya dibiasakan untuk mengingat materi yang sudah dihapalnya (Muh. Nur, 1997:2; Riberu, 1996:4). Agar hasil belajar dapat diungkap secara menyeluruh, maka selain digunakan alat ukur tes obyektif dan subyektif perlu dilengkapi dengan alat ukur yang da-pat mengetahui kemampuan siswa dari aspek kerja ilmiah (keterampilan dan sikap ilmiah) dan seberapa baik siswa dapat menerapkan informasi pengetahuan yang diperolehnya. Alat penilaian yang diasumsikan dapat memenuhi hal tersebut antara lain adalah Tes Kinerja atau Performance Test dan jenis penilaian alternatif lainnya seperti penilaian produk, portofolio, dan penilaian tingkah laku (Stiggins, 1994:159; Depdiknas-Penilaian Kelas, 2004:36). Dengan menerapkan penilaian seperti itu terhadap siswa, dapat dikumpulkan bukti-bukti kemajuan siswa secara aktual yang dapat diguna-kan sebagai bahan pertimbangan untuk memperbaiki proses pembelajaran selanjutnya. Selain itu penilaian dengan cara ini dirasakan lebih adil dan fair bagi siswa serta dapat meningkatkan motivasi siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Dalam penilaian kinerja terdapat perbe-daan tugas dan situasi yang diberikan kepada siswa serta memberikan ke-sempatan untuk mempelihatkan pemahamannya dan kebenarannya dalam aplikasi pengetahuan dan keterampilan menurut kebiasaan berfikirnya (Wiggins dalam marzano,1993:13)

Dengan mengkaji kenyataan yang ditemukan di lapangan, nampak ada ketidaksesuaian antara pembelajaran Sains di SD dengan sistem penilai-an yang digunakannya. Proses penilaian yang biasa dilakukan guru selama ini hanya mampu menggambarkan aspek penguasaan konsep peserta didik, akibatnya tujuan kurikuler Mata Pelajaran Sains belum dapat dicapai dan atau tergambarkan secara menyeluruh. Untuk itu perlu diupayakan suatu teknik penilaian yang mampu mengungkap aspek produk maupun proses, salah satu dengan menerapkan penilaian kinerja siswa.

Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Gronlund (dalam Bistok Sirait, 1985 : 153) bahwa sekalipun penilaian terhadap kinerja siswa itu amat penting, namun berdasarkan hasil observasi di lapangan para guru merasa kesulitan dalam melaksanakan karena belum memahami prosedur peng-gunaannya. Sebagai contoh kasus ialah; bahwa kegiatan pembelajaran yang melibatkan kinerja siswa dalam melakukan percobaan sudah sering dit-erapkan, namun terhadap kinerja siswa tersebut belum pernah dilakukan penilaian. Menurut pengakuan sejumlah guru SD hal ini disebabkan penata-ran atau pelatihan yang secara khusus membahas penerapan penilaian kinerja belum pernah diikuti atau belum pernah diadakan di tingkat pen-didikan dasar. Kondisi tersebut mengakibatkan pengetahuan, pengalaman maupun penguasaan guru terhadap proses penilaian kinerja siswa sangat kurang.

Realitas menunjukkan bahwa penilaian dengan cara konvensional be-lum mampu mengungkap hasil belajar siswa dari aspek sikap dan proses atau kinerja siswa secara aktual. Oleh karenanya diperlukan penerapan sis-tem penilaian yang dapat mengungkap kedua aspek tersebut. Sistem penilaian yang diasumsikan dapat memenuhi tuntutan tersebut adalah sis-tem penilaian yang digagaskan dalam Sistem Penilaian Kelas Kurikulum 2004 yang antara lain meliputi jenis Penilaian Kinerja (Performance Assess-ment), Penilaian Karya (Product Assessment), Penilaian Penugasan , Penilaian Proyek, dan Penilaian Portofolio. Dari jenis-jenis tersebut tersirat bahwa makna penilaian mencakup hal-hal yang lebih luas dari sekedar penilaian konvensional yang selama ini berlangsung.

Makna Penilaian dan Tujuan Pembelajaran

Sebagaimana ditegaskan dalam pedoman penilaian untuk sekolah dasar (Depdikbud, 1994:1) penilaian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan pendidikan dasar maupun penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan pada langkah awal pembelajaran digunakan sebagai acuan dalam kegiatan pem-belajaran dan proses penilaian yang akan dilakukan. Menurut Davis (dalam Sudarsono Sudirdjo dkk., 1991:94) tujuan tidak hanya merupakan arah yang dapat membentuk atau mewarnai kurikulum dan memimpin kegiatan pen-gajaran, tetapi juga dapat menyediakan spesifikasi secara terperinci bagi penyusunan dan penggunaan teknik-teknik penilaian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara je-las dan spesifik akan menunjang proses penilaian yang tepat dan dapat membantu di dalam menetapkan kualitas dan efektivitas pengalaman bela-jar siswa.

Pengertian Penilaian

Dalam buku pedoman penilaian kurikulum 1994 (Depdikbud, 1994: 3), dikemukakan bahwa:
"Penilaian adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk mem-berikan berbagai informasi secara berkesinambungan dan menyeluruh ten-tang proses dan hasil belajar yang telah dicapai siswa".

Penjelasan tersebut di atas mengandung makna bahwa jauh sebelum diberlakukannya sistem Penilaian Kelas dari Kurikulum 2004, penilaian ti-dak hanya ditujukan pada penguasaan salah satu bidang tertentu saja, me-lainkan menyeluruh dan mencakup aspek kognitif, afektif maupun psiko-motorik. Hal ini sejalan dengan pandangan Colin (1991: 3), bahwa:
"Assessment as a general term enhancing all methods customarily to ap-praise performance of individual pupil or a group. It may refer to abroad appraisal including many sources of evidence and many aspects of a pu-pil's knowledge, understanding, skill and attitudes.

Sedangkan menurut Nana Sudjana (1989:220), penilaian adalah proses untuk menentukan nilai dari suatu obyek atau peristiwa dalam suatu kon-teks situasi tertentu, dimana proses penentuan nilai berlangsung dalam ben-tuk interpretasi yang kemudian diakhiri dengan suatu "Judgment".

Penilaian tidak sama dengan pengukuran, namun keduanya tidak dapat dipisahkan, karena kedua kegiatan tersebut saling berhubungan erat. Untuk dapat mengadakan penilaian perlu melakukan pengukuran terlebih dahulu (Suharsimi Arikunto, !991: 1). Pengukuran dapat diartikan sebagai pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang di-dasarkan pada aturan atau formulasi yang jelas (Asmawi Zainul, 1992: 13). Dari hasil pengukuran akan diperoleh skor yang menggambarkan tingkat keberhasilan belajar siswa berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.

Lebih lanjut, berikut adalah penjelasan dari buku Penilaian Kelas pada Kurikulum 2004 tentang beberapa istilah yang sering terkait dengan penilaian (Depdiknas, 2004:11-12). "Banyak orang mencampuradukkan pengertian antara evaluasi, pengukuran (measurement), tes, dan penilaian (as-sessment), padahal keempatnya memiliki pengertian yang berbeda. Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi berhubungan den-gan keputusan nilai (value judgement). Di bidang pendidikan, kita dapat me-lakukan evaluasi terhadap kurikulum baru, suatu kebijakan pendidikan, sumber belajar tertentu, atau etos kerja guru. Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar siswa atau keterca-paian kompetensi (rangkaian kemampuan) siswa. Penilaian menjawab per-tanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang siswa. Pengu-kuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan di mana seorang siswa telah menca-pai karakteristik tertentu. Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pern-yataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengu-kuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut. Tes adalah cara penilaian yang dirancang dan dilak-sanakan kepada siswa pada waktu dan tempat tertentu serta dalam kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang jelas."

Fungsi Penilaian

Dalam pedoman penilaian Kurikulum 1994 (Depdikbud, 1994:3) ditegaskan bahwa tujuan dan fungsi penilaian untuk memberikan umpan bail baik kepada guru, siswa, orangtua maupun lembaga pendidikan yang berkepentingan serta untuk menentukan nilai hasi belajar siswa. Bagai guru, hasil penilaian tidak hanya dugunakan untuk memberikan pertanggung-jawaban secara obyektif kepada atasan ataupun sekedar bahan nilai raport. Namun penilaian dapat digunakan sebagai bahan dasar untuk melakukan instrospeksi diri terhadap proses pembelajaran yang baru saja berlangsung. Bagi siswa, hasil penilaian dapat dijadikan alat untuk memotivasi siswa tersebut agar lenih giat dalam proses pembelajaran berikutnya. Selain itu, dari hasil penilaian siswa mendapatkan informasi tentang seberapa jauh tingkat penguasaan bahan pelajaran yang diberikan guru.

Bagi orangtua, dengan mengetahui hasil belajar siswa (anaknya) orangtua dapat turut berpartisipasi dan mengambil langkah yang tepat dalam memberikan bimbingan dan bantuan serta dorongan bagi putra-putrinya. Selain itu dengan informasi hasil penilaian yang benar, orangtua dapat secara akurat mengetahui kemampuan, kekurangan dan kedudukan siswa secara ril di kelasnya. Bagi pengelola program pendidikan, hasil penilaian merupakan masukkan yang sangat berarti yang dapat digunakan untuk bahan kajian dalam membantu guru meningkatkan kompetensi pro-fesionalnya, khususnya dalam bidang penilaian. Hasil penilaian yang kom-prehensif dapat juga dugunakan untuk tujuan dan kebutuhan lain misalnya penentuan status siswa, pengelompokkan, seleksi, diagnosis dan bimbin-gan, serta menyempurnakan pengalaman pendidik, atau penelitian.

Prinsip penilaian

Hasil kegiatan penilaian dapat memberikan manfaat yang optimal jika di-lakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip penilaian sebagaimana ditetapkan oleh pedoman formal penilaian dari pemerintah (Depdikbud, 1994:5), yakni dilaksanakan secara menyeluruh, berkesinmabungan, berori-entasi pada tujuan, obyektif, terbuka serta mempertimbangkan aspek ke-bermaknaan. Peneilian yang dilakukan secara menyeluruh artinya informasi yang dikumpulkan melalui proses penilaian menyangkut seluruh aspek kepribadian siswa. Penilaian dikatakan menyeluruh jika mampu mengung-kap aspek produk dan proses belajar anak, yakni menyangkut pengetahuan, sikap, dan keterampilan proses peserta didik.

Target hasil belajar yang diharapkan terjadi pada diri siswa setelah berlangsungnya proses pembelajaran tertuang dalam tujuan pembelajaran sejak tujuan umum pada Standar Kompetensi Mata Pelajaran hingga Kom-petensi Dasar, Hasil Belajar, dan Indikator dari setiap materi pokok pembe-lajaran. Oleh karena proses penilaian bertujuan untuk mengetahui se-jauhmana tingkat ketercapaian tujuan pembelajaran, maka dalam melaku-kan penilaian harus selalu berorientasi pada tujuan; karena antara tujuan dan penilaian merupakan komponen sistem pembelajaran yang tidak dapat dipisahkan.

Prinsip penilaian selanjutnya adalah bersifat obyektif, artinya dalam melakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa, guru berusaha untuk meminimalisasi faktor subyektivitas. Menurut Ign. Masidjo (1995: 25) obyek-tivitas pelaksanaan penilaian dapat dicapai dengan menaati aturan-aturan yang telah ditetapkan. Penilaian yang didasarkan atas kriteria penilaian yang telah ditetapkan sebelumnya dapat mengurangi faktor subyektivitas dalam melakukan penilaian.

Agar hasil penilaian dapat memberikan manfaat baik kepada guru, siswa, orang tua maupun pihak sekolah, maka penilaian hendaknya dilaku-kan secara terbuka. Maksudnya baik proses maupun hasil penilaian hen-daknya diinformasikan kepada pihak-pihak terkait, sehingga hasil penilaian memiliki kebermaknaan bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Penilaian dalam Pembelajaran Sains

Sebagaimana dikemukakan terdahulu bahwa pembelajaran Sains memi-liki tiga dimensi sasaran pembelajaran, yaitu dimensi proses, produk dan sikap yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan dan diabaikan dalam proses belajar mengajar Sains (Moh. Amin, 1987: 16). Target pembelajaran Sains ini selain mengembangkan aspek kognisi juga meningkatkan ket-erampilan proses, sikap, kreativitas dan kemampuan aplikasi konsep (Yager, 1996:9). Mengingat antara belajar dan penilaian mempunyai hubun-gan yang erat, maka agar siswa terdorong untuk mengembangkan daya kreasi dan keterampilan berfikirnya hendaknya penilaian yang dilakukan tidak hanya ditujukan pada aspek penguasaan konsep saja. Namun perlu dilengkapi dengan penilaian terhadap proses belajar siswa atau aktivitas siswa, karya siswa, dan sikap siswa. Instrumen penilaian yang dapat digunakan untuk menilai kinerja siswa tersebut adalah dengan mengguna-kan penilaian berbasis asesmen (Assessment-based Evaluation).

Penilaian berbasis asesmen menuntut tertampilkannya kompetensi dan kreativitas serta inisiatif yang lebih luas dari diri siswa. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Niddhi Khattri dkk. (1995: 80), bahwa penilaian ter-hadap berbagai aspek kinerja siswa memiliki pengaruh positif di kelas, karena melengkapi guru dengan acuan pedagogis yang membantu mengembangkan teknik instruksional yang efektif. Selain itu penilaian juga menyediakan informasi secara komprehensif mengenai kemajuan belajar siswa termasuk kekuatan dan kelemahannya. Mengingat begitu besarnya manfaat dan peranan penilaian berbasis asesmen terhadap kinerja siswa serta proses pembelajarannya, maka guru sebagai pengelola utama kegiatan pembelajaran diharapkan mampu memahami, merencanakan sekaligus me-laksanakan jenis-jenis penilaian berbasis asesmen.

Konsep Dasar Asesmen
Pengertian Asesmen

Asesmen dalam pembelajaran adalah suatu proses atau upaya formal pengumpulan informasi yang berkaitan dengan variabel-variabel penting pembelajaran sebagai bahan dalam pengambilan keputusan oleh guru un-tuk memperbaiki proses dan hasil belajar siswa (Herman et al., 1992:95; Po-pham, 1995:3). Variabel-variabel penting yang dimaksud sekurang-kurangya meliputi pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap siswa dalam pembelajaran yang diperoleh guru dengan berbagai metode dan prosedur baik formal maupun informal, sebagaimana dikemukakan oleh Corner (1991:2-3) sebagai berikut.

A general term enhancing all methods customarily used to appraise performance of an individual pupil or group. It may refer to a broad appraisal including many sources of evidence and many aspect of pupil's knowledge, understanding, skills and attitudes; An assess-ment instrument may be any method and procedure, formal or in-formal, for producing information about pupil . . . .

Pengertian asesmen dalam berbagai literatur asing tersebut di atas selaras dengan makna penilaian yang digariskan dalam Buku Pedoman Penilaian pada kurikulum pendidikan dasar. Dalam buku tersebut tertulis bahwa, penilaian adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk memberikan berbagai informasi secara berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil belajar yang telah dicapai (Depdikbud, 1994:3). Ada pun yang dimaksud dengan asesmen alternatif (alternative assessment) adalah segala jenis bentuk asesmen diluar asesmen konvensional (selected respon test dan paper-pencil test) yang lebih autentik dan signifikan mengungkap secara langsung proses dan hasil belajar siswa. Herman (1997) memberikan sem-boyan khusus bagi asesmen alternatif dengan ungkapan "What You Get is What You Assess" (WYGWYA). Dalam beberapa literatur, asesmen alternatif ini kadang-kadang disebut juga asesmen autentik (authentic assessment), as-esmen portofolio (portfolio assessment) atau asesmen kinerja (performsnce as-sessment). (Herman,1997:197-198; Niemi,1997:243; Harlen, 1992:6; Marzano, et al.,1993:13; Popham, 1995:142)